KKN; KULIAH KERJA (N)GADU GENGSI

Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan tugas pengabdian para mahasiswa–makhluk yang katanya agen perubahan–kepada masyarakat. Bisa dikatakan KKN adalah puncak pengabdian sebagai seorang mahasiswa; menyalurkan pengetahun, membagikan pengalaman, sejauh mana kecerdasan intelektual dan kecerdasan sosial itu tertanam. Disinilah semua nya akan diuji, mental, kepekaan sosial, emosional dan kesabaran kita.

Disinilah puncak pembuktian seberapa bermanfaat dan berdampak pengetahuan kita selama kuliah, seberapa jauh kepekaan sosial kita terhadapan lingkungan dan masyarakat. Disinilah peng-implementasian nilai-nilai keilmuan yang dipadukan dengan sosial kemasyarakatan. KKN membentuk kita agar tidak hanya cerdas dalam intelektual tapi juga peka terhadap sosial, tidak hanya ber-IPK tinggi namun juga peduli kepada masyarkat madani. Tidak hanya jago ber-argumentasi namun juga pandai memberikan kontribusi, tidak hanya pintar didalam kelas tapi juga berdampak terhadap masyarakat luas, tidak hanya pintar dalam ilmu pengetahuan tapi juga peka terhadap sosial kemasyarakatan.

KKN tidak hanya mondar-mandir di kampung orang dengan almamater kebanggaan, lebih dari itu bagaimana caranya memberikan dampak yang positif bagi masyarkat. Seiring berkembangnya zaman, diiringi dengan majunya teknologi digital, saat ini mayoritas kampus seakan-akan mengharuskan mahasiswa KKN untuk mempublikasikan semua kegiatannya di media sosial, let say, mahasiswa KKN diharuskan membuat Instagram dan sosial media lainnya untuk me-ngontenkan kegiatan KKN-nya. Tidak hanya itu, bahkan ada kampus yang tidak segan untuk memberikan reward kepada kelompok yang membuat video ataupun konten yang paling menarik. Tentu saja hal ini akan menimbulkan ‘perang dingin’ dan adu gengsi antar kelompok KKN, khususnya mereka yang ditempatkan di satu kelurahan, tapi beda posko.

Munculnya tuntutan dari pihak kampus serta ‘nafsu’ adu gengsi untuk gagah-gagahan program membuat mahasiswa yang KKN  terkesan seakan-akan KKN hanya hanya sebatas ‘ngonten’, sehingga esensi dan ruh KKN hilang, disibukkan dengan mencari ide konten agar konten menarik sehingga sosialisasi dan interaksi dengan masyarakat dikesampingkan. KKN yang harusnya merupakan moment untuk menjadi warga yang baik, namun malah kehilangan esensi nya hanya karena dituntut untuk menciptakan konten yang menarik. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal tersebut, apalagi memang didukung dengan zaman yang serba digital ini, namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana hal tersebut tidak menghilangkan esensi dan ruh dari KKN. Adanya tuntutan yang sedemikian membuat mahasiswa KKN meng ‘halal’ kan segala cara, mulai dari program yang benar-benar didasarkan atas kebutuhan masyarakat hingga program yang penuh drama dan sandiwara.

Biasanya program sandiwara hanya memanfaatkan moment atau situasi tertentu di tengah masyarakat yang memang sedang melakukan kegiatan rutin. Seperti kajian rutinan, arisan, gotong royong dan kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya namun diakui sebagai program ‘rumusan’ KKN sendiri. Caranya juga sangat simple; tinggal ikut nimbrung warga, nyalakan kamera, unggah di sosial media, dengan caption “Lagi buat proker bersih-bersih lingkungan nich, Gaes”, yang “seakan-akan” program hasil dari ‘ciptaan’ KKN sendiri. Adu gengsi is real.

KKN yang semula dimaksudkan untuk mengabdi dan membina sikap kepedulian mahasiswa terhadap kemajuan masyarakat melalui kegiatan nyata, malah menjadi ajang adu gengsi dan mengais validasi yang sebenarnya tidak begitu penting-penting amat. Mengingat mahasiswa KKN merupakan orang-orang yang digadang-gadang sebagai agen perubahan, justru malah kebanyakan drama yang cenderung meresahkan.

Sejatinya, KKN adalah program untuk “membumikan” mahasiswa. Menaruh mereka ke tanah, karena terlalu lama menjejak langit. Agar teori sundul langit itu tetap bisa bermanfaat di masyarakat. Sebab nantinya, mahasiswa akan hidup di masyarakat, sebenar-benarnya medan dari ilmu kuliah mereka. Kalau ujungnya adu gengsi, bukannya menapak tanah, malah menantang langit. Tak bisa dipungkiri, seakan-akan proker kerap kali jadi ajang adu gengsi antar kelompok. Lupa kalau mereka datang untuk mengabdi ke warga. Bumi, yang harusnya mereka tapak, malah diinjak-injak.

Membuat acara/proker meriah di lokasi KKN tentu sah-sah saja, Ri. Tapi, jika agenda KKN cuma dijadikan ajang adu gengsi antarposko serta mengedepankan ego tanpa spekulasi, hanya dijadikan ladang untuk mengais validasi, tentu hanya akan jadi cerita konyol yang kering akan makna dan esensi. Bukannya memberi solusi permasalahan di masyarakat dengan program-program nyata, malah nambah-nambahi beban angsuran, Ri…


Penulis: Muhammad Musleh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Strategi Pengembangan Produk Pada Bank Syariah Dalam Meningkatkan Kualitas Pembiayaan Murabahah

RESUME MATERI SISTEM INFORMASI MANAJEMEN